Senin, 12 November 2012

Segelintir kisah samsul arifin

  1. MASA KECIL SAMSUL ARIFIN

Samsul arifin adalah seorang pemuda yang dilahirkan di kota metropolitan, bagian barat dari pulau kalimantan yaitu pontianak utara yang saat itu masih banyak pohon-pohon yang kian meramaikan jalan-jalan raya, tepatnya hari jum’at 06 oktober 1993, Lahir saat semua kaum pria melaksanakan shalat jum’at dengan tangisan penuh haru. Dibesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang oleh ibunda Sutimah dan seorang ayahanda H. Ridwan. Ia hidup dengan penuh kesederhanaan dan belajar dengan motivasi lingkungan yang memprihatinkan. Ibunda berjuang merawat empat anaknya yang dibantu anak yang paling tua. Setiap selesai shalat subuh membuat kue yang akan dijualkan oleh anak kedua dan anak ketiganya. Ayahanda yang berjuang banting tulang, peras keringat, mencari nafkah untuk menafkahi anak-anak dan isteri tercintanya hingga kerap kali pergi subuh dan pulang malam bahkan kadang tidak pulang-pulang, sungguh mengharukan dan meyedihkan ungkapnya.

Arifin, ya begitulah orang-orang memanggilnya, adalah anak ke lima dari delapan bersaudara. Namun kakak tercintanya telah mendahuluinya kala ia belum lahir. Kini ia hanya memiliki dua kakak (maimunah & ruwaida), dua abang (rokib & fauzi) dan dua adik (fuad dan humairah). Nama samsul arifin sebenarnya bukanlah sebuah nama yang dia anutnya sebab tanpa disengaja seorang ayahnya telah menyiapkan nama jumiati kepadanya karena lahir pada hari jum’at, tapi ternyata dia adalah seorang bayi laki-laki sehingga nama samsul arifin diresmikan dengan diaqiqahkan, kenangnya pada penulis.


Arifin dibesarkan dengan sentuhan rohani islam yang terdidik dengan agama islam oleh kedua orang tuanya. Ia mulai bernafas balita di daerah Seruni yang merupakan sebuah bagian daerah di kecamatan pontianak timur dari pulau kalimantan barat hingga saat ini masih tetap menumpang dengan orang tuanya disana. Masa kecilnya dibumbui dengan kasih sayang ibu, ayah, kakak dan abangnya.

 

         2. PENDIDIKAN SAMSUL ARIFIN

Arifin kini telah mengakhiri masa balitanya dan akan berlanjut untuk belajar di sebuah sekolah dasar negeri 17 di Jl. Panglima a’im, tidak jauh dari rumah ibundanya. Sekolah dasar negeri ini merupakan salah satu sekolah yang sangat jarang sekali di pontianak sebab sekolah ini terdiri dari satu bangunan luas yang bergabung dengan sekolah dasar negeri 04. Meskipun sekolah dasar negeri 17 itu sudah dihapuskan dalam tatanan sekolah dasar negeri di pontianak, tapi sekolah itu sudah memberikan kesan indah yang tak akan lekang oleh waktu, ungkap pria periang itu.


Disinilah seorang arifin memulai langkah barunya menuju masa-masa paling indah. Ia bukanlah seorang anak yang cerdas. Selama SD, dia tidak pernah mendapatkan sebuah ranking di kelasnya. Hanya saja meskipun tidak pernah mendapatkan sebuah ranking tapi ia tetap selalu naik kelas. Yang paling ia kenang adalah saat sekolah mengadakan sebuah lomba busana muslim dalam rangka tahun baru islam, ia tergolong satu dari tiga juara. “ya, mungkin itulah prestasi pertama yang saya dapatkan” ungkapnya dengan canda.


Sekolah dasar telah ia lalui dengan penuh perjuangan dan derai air mata. Kini ia beranjak untuk mencari sekolah menengah pertama. Semua dari pihak keluarga sudah memutuskan untuk menyekolahkan di sebuah Sekolah Menengah Pertama tidak jauh dari rumahnya. Namun ibunda memberikan dua pilihan sekolah menengah pertama yaitu Madrasah Tsanawiyah Darul Khairat bersama kakaknya dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 06. Ternyata ia memilih Madrasah Tsanawiyah Darul Khairat, merupakan sebuah sekolah yang berbasis pesantren yang sedang ditempati sebagai sekolah oleh kakaknya. Disinilah ia mulai membentuk karakter pribadi insan penuh karya dan makna.

Sekolah menengah pertamanya atau sering sebut dengan pesantren telah menuliskan sebuah kisah nyata kehidupan seorang samsul arifin. Setiap 30 menit sebelum azan shubuh petugas shalat jama’ah mulai mendinginkan semangat tidurnya yang lelap. Laksana mentari yang padam ketika mencium bau mendung. Tubuhnya terasa berat untuk melakukan aktifitas rutin pesantren, namun mau tidak mau ia harus melakukannya. Satu minggu bersama pesantren, ia merasa telah bertahun-tahun disana. Terpenjara dalam keramaian para santri yang hidup mandiri. Ia terdidik dengan serba mandiri, mandi sendiri, masak sendiri, bahkan mencuci baju pun sendiri.


Kebiasaan rutin pesantren ternyata tidak sesuai dengan keinginan pribadi arifin, hingga akhirnya hari telah genap menjadi dua minggu di pesantren. Tanpa disadari ia merasa telah dua tahun di pesantren. Rindu tiada tanding kepada ayahanda, ibunda, adinda dan kandanya. Semua ia tuangkan dalam tarian air mata yang kian membasahi pipinya ketika melaksanakan shalat ashar. Rasa rindunya sedikit sirna ketika ia melihat dari kejauhan, seorang ibu yang membawakan makanan dan segala kebutuhannya. Dengan senyum manis, ia mencium tangan ibunya dan air matanya pun mulai meleleh di pundaknya. Saat itu ia bicarakan tentang ketidakbatahannya di pesantren. Namun dengan lemah lembut suara bunda yang melemahkan keinginannya, ia akhirnya mengurungi niatnya.


Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, arifin akan menghadapi ujian. Sejak kelas satu MTs, kesadaran akan penting sebuah ilmu telah merasuk dalam jiwanya sehingga ia sudah berulangkali mendapatkan ranking bahkan juara umum saat semester pertama sebelum meninggalkan kursi Mtsnya. Ujian akhir sekolahnya mendapatkan applaus dari segenap jajaran guru di sekolahnya karena merupakan satu-satunya siswa yang bernilai tinggi diantara siswa dan siswi lainnya.


Pribadi samsul arifin saat itu telah menjadi alumni MTs Darul Khairat pada tahun 2008. Namun terjadi silang pendapat antara dia dan ibundanya. Ibunda memutuskan untuk memberhentikan sekolahnya lantaran ekonomi sudah berada di ujung tanduk. Mendengarnya, arifin laksana disambar petir. Sukses yang dicita-citakannya sudah tiada dan hanya tinggal harapan semata, keputus asaannya telah berkumpul dalam satu keyakinan bahwa dia tidak bisa melanjutkan studinya lagi ke jenjang Madrasah Aliyah Darul Khairat. Rasa sedihnya kian menderu hingga tibalah hari itu dimana ibundanya meminta izin kepada Kiai Suaidi Mastur (Pemimpin Pesantran itu). Kiai sudah tahu masalah yang mereka sedang hadapi dan akhirnya beliau memberikan suatu bantuan berupa dibebaskannya arifin dari biaya pesantren dan sekolah. Rasa senangnya sungguh luar biasa, “Rasanya telah terlahir kembali dari kematian”, ungkap pria puitis itu.


Di tahun 2008 merupakan awal kehidupan baru bagi arifin. Menata pribadi insan penuh karya telah ia mulai saat kelas sembilan. Beberapa puisinya sudah mendapat respon positif dari sahabat-sahabat dan guru-gurunya. Kegemaran itu terus ia kembangkan. Di tahun pertama ia menginjakkan kaki di Madrasah aliyahnya terbuka lah setapak arti sebuah kehidupan baginya. Semangat belajarnya yang menggebu-gebu telah mengantarkannya sebagai juara kelas dan pernah mendapatkan juara umum di sekolahnya. Prestasi demi prestasi telah ia raih saat ia sekolah di Madrasah Aliyah hingga suatu ketika ada suatu agenda school meeting yang merupakan agenda tahunan, yang mempertemukan puluhan sekolah untuk mengadu potensi mereka baik rohani maupun jasmani. Dari sekian banyak siswa ternyata dia terpilih sebagai salah satu utusan dari sekolahnya untuk mengikuti cabang lomba pidato bahasa inggris. Memang pada dasarnya ia suka belajar bahasa inggris hingga sahabat-sahabatnya mencantumkan namanya sebagai salah satu peserta. Ia kebingungan untuk menampilkan isi pidatonya karena memang pada dasarnya ia tidak memiliki pengalaman-pengalaman yang cukup untuk kontes ini. Penampilannya pada saat itu mendapat sambutan tepuk tangan yang meriah dari para penonton yang mengantarkan sekolahnya mendapatkan dua piala yaitu cabang lomba kaligrafi dan pidato bahasa inggris. Rasa bahagianya begitu besar akan piala pertama yang ia dapatkan hingga saat ini ia abadikan di rumahnnya.


Berbagai rasa saat sekolah mengantarkan dia ke ujian nasional. Saat itu tingkat belajarnya ia kembangkan dan doa selalu ia panjatkan. Hingga tiba akhirnya ia ujian namun ujiannya tidak di sekolah yang biasa ia tempati untuk sekolah melainkan di Madrasah Aliyah Negeri 1 pontianak. Disana ia melihat banyak siswa-siswa yang berpakaian sangat rapi hingga ia iri melihatnya. Ujian pun telah ia lalui hingga lulus dari sekolahnya.


Sembilan tahun telah ia lalui di bangku sekolah kini saatnya ia menghirup bau kampus sebagai mitra pendidikannya. Namun lagi-lagi masalah ekonomi menghadang niat sucinya. Hari itu orang tuanya memutuskan untuk mengeluarkannya dari pesantren. Dalam perbincangan hangat sang pemimpin pesantren memutuskan untuk tidak mengizinkan arifin untuk mengucapkan selamat tinggal pesantren. Ia dituntut untuk mengabdi terlebih dahulu. Akhirnya ia diundang oleh kepalah sekolah Mtsnya untuk bergabung sebagai salah satu staff TU. Disini ia belajar berbagai hal dari komputer, administrasi dan lain sebagainya. Hari-harinya selalu disibukkan dengan tugas sekolah. Namun ia merasa bangga telah mendapatkan kehormatan sebagai salah satu anggota kantor sekolah.


Tanpa terasa sembilan bulan telah ia lewati hingga akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan diri dari pesantren. Awalnya ia tidak diizini namun dengan alasan yang sangat tepat akhirnya kiai mengizinkannya. Rasa lega telah ia miliki


dan niatnya ingin bekerja telah bulat dalam tekad. Ia tetap aktif sebagai staf TU sekolah dan mengajar privat. Pekerjaan itu membantunya untuk mendaftar kuliah yaitu di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak.


      3. PRIBADI SAMSUL ARIFIN

Samsul arifin ketika SD belum sama sekali memiliki arah hidup yang mantap. Namun ketika seragam sekolah menengah telah ia pakai mulailah ia mengarahkan hidupnya ke jalan yang lurus dengan bercita-cita sebagai puitis yang hebat, ternyata cita-cita ini ia ubah menjadi seorang guru karena menurutnya profesi guru akan lebih bermanfaat, lagi-lagi dengan pemikiran yang matang serta kritis ia mengubahnya untuk menjadi dosen yang bisa berbagi motivasi dan ilmu kepada guru-guru muda yaitu mahasiswa. Ia berusaha dan berjuang dengan motivasi para genius islam yaitu “man jadda wajada” yang berarti barangsiapa yang bersungguh-sungguh, ia akan sukses. Rasa itu ia luapkan dengan masuk di berbagai organisasi seperti LDK Matimsya (merupakan organisasi internal Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak), Mata Hati Trainning Center (MAHATREN) dan Remaja Mujahidin (RM).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar